- Sumber : Buku “Babat Madja dan Babad Nglorog”.
- Karangan : R. Gandawardaya.
- Penerbit : Balai Pustaka Batavia-Centrum Tahun 1935.
Ringkasan Cerita dengan alih bahasa Oleh : Sugianto.
Sungai Maron |
III. PENCARIAN RADEN PRAWIRAYUDA (PUTRA MAHKOTA MAJAPAHIT) DI NEGERI MAJA
Diceritakan bahwa Prabu Brawijaya (Raja Majapahit) yang terakhir memiliki seorang permaisuri dari Negeri Cempa bernama Dwarawati dan juga memiliki seorang isteri selir. Keduanya sedang mengandung. Dalam mengisi waktu luang dan menunggu kelaiharan sang bayi keduanya sering bermain dan beristirahat di taman kerajaan. Pada suatu hari menjelang masa-masa melahirkan sang Permaisuri memberi pesan kepada sahabatnya yang juga tak lain dan tak bukan adalah isteri selir sang Raja Brawijaya. Meski mereka hidup sebagai dua isteri yang dimadu namun mereka hidup rukun dalam singgasana kerajaan Majaphit.
Isi pesan dari sang permaisuri kepada isteri selir tersebut adalah jika kelak Sang Permaisuri melahirkan Bayi perempuan sedangkan sang isteri selir melahirkan bayi laki-laki maka kelak jika telah dewasa akan mereka jodohkan sebagai pasangan suami isteri, sang isteri selirpun menyetujuinya.
Alkisah pada saat sang Permaisuri melahirkan dari beliau terlahir seorang bayi mungil perempuan, begitu pula sang isteri selrpun juga melahirkan bayi mungil berjenis kelamin pria, rupa-rupanya yang meraka harapkan dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa, tampak wajah keduanya menampkkan raut kebahagiaan melihat harapan mereka terkabul.
Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun telah terlampaui; Kedua bayi itupun telah tumbuh menjadi dua insan dewasa gagah perkasa dan cantik molek, keduanya hidup rukun dan Nampak dari keduanya telah terjadi jalinan asmara antara keduanya. Melihat masa-masa kedewasaan itu telah tiba maka Sang Permaisuripun akan memenuhi janjinya untuk menjodohkan kedua insan tersebut dan akan segera dinikahkannya.
Mendengar rencana sang Permaisuri sang raja terkejut, marah dan sekaligus tidak menyetujui rencana. Apa boleh dikata, sang permaisurupun tidak bias berbuat banyak dengan apa yang telah diputuskan oleh sang Raja. Keputusan sang Rajapun telah bulat tidak akan melaksanakan pernikahan kedua anak kandungnya itu karena itu sama dengan menentang adat maupun aturan kerajaan.
Mendengar situasi kasak -kusuk di kerajaan, apa lagi bahwa hubungan mereka tidak direstuai oleh sang raja, maka tanpa sepengetahuan dari pihak kerajaan sang pangeranpun memutuskan untuk keluar/ melarikan diri dari kerajaan Majapahit dengan tujuan yang tidak jelas bersama sang kekasihnya yang tak lain adalah saudara kandungnya sendiri meski berlainan ibu.
Dalam pelariannya beliau bertemu dengan seseorang yang mengaku bernama Ki Ageng Buyut Ngaren, ya Kiai Bodho juga dikenal sebagai Kiai Maja di negeri Mojo. Diceritakan pada saat beliau betemu dengan Kiai Mojo sudah menjadi pasangan suami isteri dengan nama Raden Prawirayudha. Pada saat itu juga Kiai maja dengan senang hati menerima kedatangan keduanya meski dia tidak mengetahui dari mana dia bersalal dan dari kturunan mana, namun dalam benaknya Kiai Mojo sudah menyangka bahwa tamunya bukanlah orang sembarangan. Didalam rumah tangganya Raden Prwairayudha diperlakukan tak ubahnya seorang petani di pedesaan dan melakukakan aktifitas layaknya seorang petani muda yang rajin dan tekun bekerja diladang garapannya.
Dengan perginya sang Pangeran dari kerajaan Majapahit maka suasana di Kerajaan majapahit sangatlah gempar, Sang Raja pun segera membentuk tim/utusan untuk mencari sekaligus menjemput dimana keberadaan sang Pangeran. Utusan kerajaanpun segera melaksanakan tugas dan menyebar ke segala penjuru untuk mencari sang Pangeran.
Salah satu utusan itu tibalah di Negeri Maja dan bertemulah dengan Kiai Maja dan msyarakat di negeri Maja sambil menjelaskan maksud kedatangan mereka. Mendengar penjelasan utusan dari Majapahit itu maka dengabn senang hati Kiai Maja menjelaskan bahwa dia juga kedatangtan sepasang suami isteri seperti yang dijelaskan oleh utusan kerajaan itu sekaligus memberitahukan bahwa tamunya bernama Raden Prawirayudha.
Yakin dengan apa yang dijelaskan oleh Kiai Maja bahwa yang disebutkan tadi adalah benar-bnar putra Raja Brawijaya yang meraka cari maka utusan segera bertolak ke Kerajaan Majapahit dan berpesan kepada Kiai maja agar kedua anak itu diasuh dengan baik dan suatu saat dia akan kembali lagi bersama sang raja untuk menjemput kedua putra mahkota tersebut.
Sesampainya di Kerajaan utusan segera menceritan apa yang ditugaskan kepadanya telah menemukan hasil bahwa keberadaan sang Pangeran telah jelas keberadaannya yaitu di Negeri Maja (Sekarang masuk Desa Punung). Betapa Senang dan gembiranya hati sang Raja mendegnar penjelasan utusannya itu, dalam waktu yang tidak terlalu lama sang Rajapun segera turun ke lapangan bersama rombongan untuk menjemput sang Pangeran kembali ke Puri Kerajaan majapahit.
Pada suatu hari ketika Raden Prawirayuda beserta isterinya sedang menyiangi padi di ladang dihampiri oleh kiai Maja dan mengatakan bahwa Ayahanda Prabu Brawijaya telah datang dan ingin segera bertemu dan menjemputnya pulang ke Kerajaan Majaphit, maka Raden Prawirayuda pun segera mengatakan agar Kiai Mojo untuk segera pulang dan melaporkannya bahwa dia akan segera mengikuti pulang untuk menemui Sang Raja Ayahnda tercinta Prabu Brawijaya dan dihaturkan Salam Hormatnya terhadap beliau.
Namun apa yang dikatakan Raden Prawirayudha iti hanyalah taktik belaka, dengan kepulangan Kiai Ageng Maja tersebut maka Raden Prawirayuda justru menggunakan kesempatan itu untuk bersembunyi dan berpindah tempat karena beliau tidak ingin bertemu dengan sang Raja Brawijaya.
Tidak tahan lama-lama menunggu di rumah Kiai Ageng Maja Prabu Brawijaya menugaskan kembali utusan untuk menjemput Raden Prawirayuda di Pategalan yang telah diunjukkan tadi, namun apa yang terjadi ternyata utusan kerajaan Majaphit itu tidak bisa menmukan Raden Prawirayudha disitu.
Akhirnya Sang Raja bersama rombongan kerajaan bersama-sama mencarai tempat persembuniannya melewati jurang, perbukitan dan sungai-sungai, Salah seorang abdi kerajaan bernama Demang Prawiramantri melihat seseorang yang sedang memancing ditepi sungai, setelah diamati secara sembunyi-sembunyi dan menyamar sebagai petani ternyata orang tersebut tidak lain adalah Raden Prawirayuda.
Demang Prawira Mantri lalu mendekat serta membujuk rayu agar sang Pangeran beserta adinda segera pulang mengikuti dia untuk bersama-sama menghadap sang Prabu Brawijaya, Namun apa boleh dikata Raden Prawirayudha menolak ajakan itu dan hanya berpesan Kepada Ayahnda melalui Demang Prawiramantri bahwa dirinya belum bisa ditemui oleh siapapun termasuk ayah bundanya karena dia sedang semedi dan baru bisa ditemui esok harinya waktu bedhug (kira2 jam 12 siang).
Esok hari sesuai janji yang ditentukan oleh Raden Prawirayuda Sang Raja Brawijayapun segera berkemas-kemas beserta para abdi kerajaan lengkap dengan pengawalan bak seoarng raja menuju tempat pinggir sungai sesuai petunjuk dari Demang Prwiramantri, Kiai Ageng Maja pun juga ikut dalam rombongan itu, dengan harapan segera bisa bertemu ananda tercinta dan akan segera memboyongnya ke puri kerajaan Majapahit.
Alhasil ketika sang raja hadir dtepi sunagi tersebut keadaan sudah sunyi sepi tiada seorangpun berada disitu, Raden Prawirayuda ternyata telah berpindah dari pinggir sunagi tersebut menuju arah barat yaitu ke alas/ladang “NGRETATI”.
Sang Prabu Brawijaya sangan kecewa dan sedih akan kejadian ini karena harap untuk bertemu ananda tercintapun tidak kesampaian, belum lagi memikirkan situasi Kewrajaan majapahit yang ditnggalkan selama ini tentu akan semakin tidak mentu keadaannya bahkan akan rusak pemerintahannya.
Sang rajapun memutuskan bahwa keadaan ini sudah menjadi suratan baginya bahwa dia belum bisa dipretemukan dengan ananda tercinta, dengan sikap bijaknya sang Rajapun akan segera kembali ke Puri Kerajaan Majapahit untuk mengendalikan Tahta Kerajaannya.
Sebelum meninggalkan tempat tersebut Prabu Brawijaya berpesan kepada Kiai Ageng Maja dan masyaraktnya, agar alas/ladang ini dinamakan “LIRABAYA” yang dalam bahasa Jawa berarti “Angelirake Ubaya” dalam bahasa Indonesia dapat diartikan “mengingkari janji”
“LIRABAYA” berasal dari dua kata bahasa Jawa Lira dan Ubaya ( Lira berarti ingkar Ubaya berarti Janji). “LIRABAYA” = INGKAR JANJI.
Sang Raja beserta para pengawalnyapun segera bertolak ke Kerajaan Majapahit dan tetap berharap kepada Kiai ageng maja apabila sewaktu-waktu sang Pangeran ketemu untuk segara diahapkan kepada beliau di Puri Kerajaan Majapahit, Kiai Ageng majapun mengiyakan apa yang diamanatkan oleh sang Raja.
Dan Semenjak itulah perladangan dan sungai ini dijuluki sebagai ladang/ Sungai “LIRABAYA” dan masyarakat setempat saat ini menyebutnya “NGIROBOYO”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar